Kuncup Luruh
Terpecik Nila
Oleh: Hani Darmawan
Ahmad terduduk luruh seluruh tulangnya serasa lepas dari raganya. Tidak
satu katapun dapat terucap dari bibirnya. Ia hanya mengeleng pelan
ketika mas Iwan , kakak iparnya menanyakan tentang proses pemakaman. Ia
mengangguk mengiyakan semua kata-kata mas Iwan tanpa memikirkan lagi
Sejuta rasa sesal menikam dan menusuk jiwanya.Tiga tahun bukan waktu
sebentar untuk menunggu kehadiran makhluk mungil yang lucu dan lembut
itu untuk mengisi hari-harinya bersama Tiara.
Terbayang jelas di ingatannya bagaimana hari-hari selama hampir delapan
bulan ini ia isi dengan penuh semangat dan harapan .Bagaimana ia dengan
ikhlas membuatkan segelas susu untuk Tiara setiap pagi dan sorenya,
bagaimana ketika ia mengelus-elus perut Tiara yang semakin membesar dan
merasakan tendangan-tendangan kecil dari dalam perut Tiara.
Rasanya ia tak sabar untuk segera mengendong bayi mungilnya setiap kali
ia mendengarkan detak jantung dan melihat gerak makhluk mungil itu
setiap Tiara periksa USG.
Bagaimana rewelnya ia ketika memilihkan perlengkapan bayi , rasanya ia
yang cerewet dalam hal ini di banding Tiara.
“Jangan berlebihan mas, sesuai ukuran kita saja.” Tiara menginggatkan
Ahmad saat Ahmad ngotot memilih kereta bayi yang lebih mahal.
“The best buat adek ya..?” jawab Ahmad sembari mengelus perut
Tiara.Kalau tak ingat ini ditoko, ingin rasanya ia menempelkan
telinganya diperut Tiara untuk mendengar ‘jawaban’ dari calon anaknya
itu.
Tia hanya dapat menghela napas.”Ingat budget mas..”
”Itu bisa diatur” jawab Ahmad santai sambil berjalan kearah box bayi
yang cantik itu meski diikuti dengan harga yang aduhai.
Rasanya Ahmad sanggup bekerja lebih keras lagi agar bisa memberikan yang
terbaik saat si kecil itu lahir. Ia ingin semua sudah tersedia dan
sebagus mungkin.
Tapi sekeras apapun ia bekerja rasanya belum menjangkau impiannya untuk
dapat menyediakan istana mungil nan cantik bagi bayi mungilnya nanti.
Rumah, ya rumah yang ia tempati rasanya kurang pantas untuk menyambut
kedatangan buah hatinya,Rumah itu masih orisinil seperti saat ia beli
dulu dari developer.Kamar buat sikecil akan pengap rasanya kalau tidak
diganti desain interiornya.Dan lagi, dimana nanti pengasuh si kecil akan
tidur? Rumah ini hanya punya dua kamar yang tidak begitu luas, kasihan
buah hatinya nanti jika harus tidur dikamar sekecil itu.
“Nggak usah pake pengasuh mas, saya kan dirumah. Ibu baru akan pulang
kesolo kalau saya sudah pulih mas, jadi nggak perlu pengasuh , apalagi
renovasi rumah. kita kan hanya cukup untuk persiapan melahirkan mas,
bukan untuk renovasi rumah. Lagipula bikin kamar lagi diatas kan nggak
cukup sepuluh juta kan mas.” Ucap Tiara mengingatkannya.
“Ya…” balas Ahmad pelan sambil mengenggam tangan Tiara. Ia merasa tak
berdaya tak dapat memberikan yang terbaik buat istri dan anak yang sudah
lama mereka nanti-nantikan.
Ahmad tahu benar bagaimana usaha Tiara agar dapat hamil. Dari mulai
konsultasi ke dokter ahli, pijat, minum ramuan tradisional sampai
melepas kariernya yang sebenarnya harus Ahmad akui; lebih menjanjikan
daripada Ahmad sendiri.
“Nggak pa-pa aku berhenti sekarang mas, kata dokter mungkin karena aku
terlalu capai jadi belum hamil. Lagipula nanti toh aku berhenti juga
untuk mengurus anak kita .” papar Tiara ketika Ahmad menyangsikan
keputusannya untuk berhenti. Ahmad tahu; pekerjaan Tiara telah mendarah
daging baginya, karena sesungguhnya ia adalah seorang workaholic.
Tapi Ahmad punya keinginan lain dan rasanya akan segera terwujud. Pagi
ini rasanya semakin dekat saja bayangan sebuah rumah mungil nan cantik
dengan sebuah kamar berinterior indah ,nuansa lembut untuk anak-anak dan
dilengkapi peralatan bayi yang bermutu tentunya.
Ia juga akan menyiapkan pengasuh si kecil agar Tiara tidak terlalu capai
dan si kecil dapat optiomal terawat dan terawasi.
“Terimakasih banyak pak. Bagaimana , diskon yang dua setengah persen itu
bapak inginkan dalam bentuk cek atau tunai?” Pria berkepala botak itu
menyalami tangan Ahmad sambil memamerkan senyumnya yang dalam pandangan
Ahmad terkesan seperti penjilat.Tapi biarlah, apa bedanya dengan dirinya
saat ini ?
“Tunai saja, besok di bank .”
“Haiyaa..,saya mengerti.Tunai tentunya.” Kembali ia memamerkan senyumnya
yang bagi Ahmad terasa seperti melecehkan.Tentu saja tunai lebih aman,
tak ada jejak transfer.
Sekarang uang sebesar seratus dua belas juta lebih masuk kantongnya !
Itu bukan jumlah sedikit ! Dan itu cukup untuk mewujudkan harapannya
untuk menyambut sikecil.
Tiara menolak mentah-mentah ketika Ahmad mengajaknya ‘mengungsi’
sementara waktu kerumah orangtua Ahmad
“Darimana mas dapat uang untuk renovasi rumah ini?” suara halus Tiara
terdengar tajam di telinga Ahmad .Tiara tahu saat ini Ahmad sedang
mengerjakan proyek dikantornya, pembelian alat-alat itu dalam jumlah
yang tidak sedikit dan siapa saja bisa bermain di situ untuk mendapat
‘cipratan’, dan Tiara tak mau Ahmad terjebak disana.
“Aku pinjam kok, lagian bentar lagi dapat bonus, mungkin tiga setengah
kali gaji.” Lidah Ahmad sebenarnya terasa kelu ketika mengucapkan
kalimat itu. Bonus darimana? Perusahaannya mana mau memberikan bonus
sebesar itu, paling banter satu kali gaji. Selama menikah baru kali ini
Ahmad membohongi Tiara, dan itu disusul kebohongan-kebohongan
selanjutnya.Duh.!
“Benar ya mas, tolong hati-hati dengan rejeki yang kita makan, terlebih
sebentar lagi saya akan melahirkan sikecil ini. Jangan main-main mas,
dua nyawa yang mas pertaruhkan .” Ahmad hanya mengangguk tak kuasa
menjawab yang berarti hanya berbohong lagi.
Dari dalam mobil Ahmad dengan puas memandangi rumah mungilnya yang
bertingkat dua , cantik.Dan bagian paling indah itu ada di kamar bayi ia
desain dengan nuansa lembut nan cantik dan diisi oleh furniture bayi
kelas satu.
“Ah, mustinya mobil ini juga harus ganti, kasihan nanti buah hatinya
jika harus naik mobil tua ini.” Batin Ahmad sembari tersenyum
membayangkan Tiara duduk disampingnya memangku sikecil yang berceloteh
lucu.Dalam mobil yang layak dan berAC tentunya.
“Masih cukup.” Gumam Ahmad setelah menghitung dalam hati sisa uangnya
ditambah penjualan mobil ini, masih cukup untuk membeli sebuah sedan
bekas tahun 90 an.
Namun bayangan indah itu tiba-tiba tertutup mendung sehinga menjadi
suram. Entah karena apa Tiara pendarahan .Solusio plasenta!
Penjelasan dokter hanya menambah Ahmad bingung, rasanya ia dan Tiara
telah amat hati-hati menjaga kehamilan Tiara, kenapa bisa solusio
plasenta , yang kata dokter disebabkan benturan keras diperutnya atau
karena kondisi kesehatan yang buruk.
“Ibu pernah jatuh?” tanya dokter itu itu setelah tahu Tiara tak
bekerja.Tiara mengeleng.
“Mungkin saja ibu kena tendangan bapak sewaktu tidur, tak sengaja
tentunya.”komentar dokter itu seenaknya. Saat itu Ahmad mulai merasa
panas hatinya. Dokter sok tahu!Seenaknya saja ngomong, padahal kalau ia
tidur seperti batang kayu, tak bergerak-gerak, anteng!
“Suami saya anteng kok dok kalau tidur, rasanya tak mungkin ia menyepak
saya , lagipula masak sih saya tak merasa kalau tersepak? Pasti saya
sudah teriak dok..” Tiara segera mencairkan suasana karena ia merasa
pasti Ahmad sudah kesal.
Dan setelah berpikir beberapa saat, dokter itu kembali memberikan
komentar yang seenak perutnya , menurut Ahmad.
“Pak, Bu, kalau begitu sebaiknya bapak ‘puasa’ dulu, kasihan bayinya
kalau masih pendarahan lagi harus dikeluarkan, padahal baru tigapuluh
dua minggu, paru-parunya belum matang.” Ucapnya dengan kalem.
“Dokter sok tahu.!Kalau bukan perempuan sudah kumaki dia.!” Ahmad tak
tahan menahan emosinya begitu tiba di kamar dimana Tiara harus menjalani
bedrest di Rumah Sakit ini..Apa dia nggak tahu kalau Ahmad udah puasa
dari kandungan Tiara enam bulan?Dan itu bukan hal hal yang mudah bagi
lelaki normal seumurnya, tapi demi Tiara dan calon anaknya, apapun Ahmad
mau melakukan.Tapi dokter itu seenaknya saja komentar.!
“Sudahlah mas, dokternya kan Cuma menganalisa dan kasih masukan buat
kita. Jangan emosi gitu dong, ntar anaknya ketularan lho..” seperti
biasanya Tiara segera meredam emosi Ahmad. Dan seperti biasanya pula
Ahmad akan segera luruh emosinya jika menghadapi senyum manis Tiara
untuknya yang penuh ketulusan itu.
Tiara harus bedrest untuk menyelamatkan bayinya agar bertahan sampai
paling tidak tiga puluh lima minggu.Selama itu Ahmad rela melayani Tiara
yang harus benar-benar total ditempat tidur.Bagaimanapun ia tak ingin
kehilangan si kecil yang sudah lama mereka nantikan kehadirannya.
Tapi sekuat apapun keinginan dan usaha manusia, masih ada yang lebih
kuat diatas segalanya. Tiara memandang dengan wajah pucat kearah Ahmad
yang senantiasa setia menungguinya. Pandangan mata Tiara
berpindah-pindah dari mata Ahmad ke arah perutnya yang ia pegangi.
“Kenapa? Sakit?” tanya Ahmad dengan bingung dan ikut-ikutan memegang
perut Tiara.
Tiara hanya mengeleng dan membisu, tapi dari matanya mengalir butiran
air bening menuruni pipinya yang pucat. Setelah menarik napas panjang ia
istigfar berkali-kali, dan setelah dapat menguasai dirinya, ia berkata
lirih.
“Rasanya dia sudah nggak bergerak mas.” Meski suara Tiara terdengar
lirih dan tenang tapi bagaikan petir di telinga Ahmad.
Dengan panik Ahmad memanggil dokter yang segera memeriksa Tiara. Dan
terpaksa Tiara harus menjalani operasi Caesar untuk menyelamatkan
jiwanya. Tiara selamat, tapi bayi itu sudah dipanggil Alloh SWT beberapa
saat sebelum Tiara merasakan bahwa sudah tidak ada gerakan lagi di
perutnya.
Ahmad merasa seakan terhempas ke jurang yang tak berdasar, sakit yang
belum pernah ia rasa sebelumnya. Bayangan peristiwa silih berganti
bermain di pelupuk matanya. Kamar yang cantik serta segala sesuatu yang
ada di dalamnya yang telah ia siapkan untuk buah hati tersayang.
Tapi yang menusuk hatinya ketika teringat ekspresi wajah Tiara saat
mengingatkannya tentang dana renovasi rumah. ”Jangan main-main mas, dua
nyawa yang mas pertaruhkan.” Kata-kata itu masih tergiang di telinga
Ahmad.
***********************************
Ahmad menoleh dengan malas saat Iwan menepuk pelan pundaknya. ”Telepon
dari Tiara di Rumah Sakit.” Bisik Iwan sembari menyodorkan handphonenya
kepada Ahmad. Ahmad memang sengaja mematikan handphonenya, rasanya ia
ingin pergi kesuatu tempat dimana ia bisa sendirian merenungi kepiluan
hatinya dan rasa penyesalannya.
“Assalamua’llaikum..”suara Tiara pelan terdengar tapi tenang.
Tiba-tiba Ahmad merasa malu sendiri. Bagaimana mungkin ia malah
melarikan diri merenungi kesedihannya dengan melupakan Tiara? Padahal
Tiara pasti lebih merasa kehilangan dibandingkan dia. Tiara yang
mengandung bayi itu selama delapan bulan , merasakan
tendangan-tendangannya dan membawa kemanapun ia pergi.
“Mas, sudahlah. Alloh telah memanggilnya, ia milik Alloh, kita hanya
dititipi. Pasti Alloh punya rencana lain yang lebih baik untuk kita.
Insya Alloh ini yang terbaik mas.” Suara Tiara meski tenang tapi
terkandung air mata disana, tapi ternyata ia lebih tegar.
“Tolong mas ikhlaskan dia. Dia memang anak kita, tapi Alloh pemiliknya.
Saya hanya bisa mendoakan dari sini.” Tiara mengakhiri teleponnya dengan
salam setelah tak mendengar sepatah kata pun dari mulut Ahmad.
“Wa’allaikumsalam…”jawab Ahmad setelah tersadar dari lamunannya. Entah
Tiara msaih mendengar salamnya atau tidak.
Tapi sebuah kesadaran kini muncul dalam diri Ahmad. Ia harus kuat dan
ikhlas! Mungkin inilah cara Alloh menegurnya dan menyelamatkan anaknya
agar tak menikmati hasil tak halal dari bapaknya. Mungkin juga anaknya
enggan tinggal dan menikmati rumah serta kamarnya yang indah tapi ada
belepotan noda disana sini.
Ahmad beristiqfar beberapa kali sebelum akhirnya bangkit berdiri untuk
ikut mengurus pemakaman putrinya yang akhirnya ia berikan nama ‘Safa
Fitria’.Karena ia bersih, suci dan putih.
*************
Ahmad memandangi rumah mungil bertingkat dua yang cantik itu sambil
tersenyum , ikhlas dan lega. Meski rumah itu sudah bukan lagi miliknya,
tapi ia lega dapat mengembalikan uang dua setengah persen potongan harga
peralatan yang ia beli untuk kantornya.Ahmad hanya tersenyum dan tak
berkata sepatah katapun ketika manajernya memandangnya dengan wajah
penuh tanya sambil memegang cek sebesar seratus duabelas juta lebih itu.
“Maaf pak, tolong bapak tanda tangani surat ini.” Ahmad menyodorkan
surat bukti penyerahan cek itu pada manajernya, yang kemudian
menandatanginya dengan penuh rasa heran. Diam-diam sebuah rasa malu dan
sesal menyelimuti hatinya. Entah berapa kali berapa persen diskon yang
pembelian peralatan atau sub kontrak proyek yang telah masuk ke
rekeningnya?
Ahmad menstater mobil tuanya sambil melambai kearah rumah mungilnya yang
cantik. ”Masih belum ikhlas mas?
Goda Tiara yang duduk disampingnya.
“Masak Cuma melambai juga nggak boleh? “ Ahmad menoleh kearah Tiara
dengan wajah memelas. Tiara tertawa melihat ekspresi wajah Ahmad yang
seperti anak kecil dimarahi ibunya .
Mobil Ahmad melaju menuju rumah baru mereka yang ‘kembali’ sederhana.
Tapi disana ada harapan terajut rapi akan hadirnya kuncup didalamnya
yang akan tersirami dengan rejeki tanpa percikan nila meski tak sampai
setetes.
Copyright © Lembaga Dakwah dan Taklim (L-Data) 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar